My Zodiak


Kamis, 05 April 2012

Ibu Kota Jakarta yang KEBANJIRAN

Berkaitan dengan banjir, terdapat banyak istilah yang kerapkali digunakan baik dalam komunikasi verbal sehari-hari maupun di media masa. Istilah-istilah itu antara lain penanganan banjir, pengendalian banjir, pencegahan banjir, penanggulangan banjir, mitigasi banjir dan sebagainya.
Dengan mengacu pada Isnugroho (2002), dibedakan  dua istilah yaitu penanggulangan banjir dan pengendalian banjir. Penanggulangan banjir adalah kegiatan yang dilaksanakan selama banjir sedang berlangsung dan sesudah banjir berlalu. Sedangkan pengendalian banjir adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengupayakan agar tidak terjadi banjir.
Berkaitan dengan pengendalian banjir terdapat dua kegiatan pokok. Pertama, kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi volume air yang melewati sungai. Kedua, kegiatan yang ditujukan untuk memperbesar daya tampung (kapasitas alur sungai).
Secara umum, setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan pengendalian banjir selama ini gagal. Pertama, tidak terintegrasinya pendekatan biofisik dan pendekatan institusi dalam berbagai program penanganan banjir. Kedua, meski peran masyarakat dianggap penting, namun dalam implementasinya peran serta masyarakat, secara tidak disadari, kerap masih dianggap sebagai non-faktor.
Karena itu, solusi penanganan banjir ke depan harus mengintegrasikan aspek biofisik dan aspek institusi, dan menempatkan masyarakat sebagai faktor utama dalam proses pengendalian banjir.
Pengertian institusi di sini mengacu pada pengertian yang dikemukakan oleh North (1990) dan Rodgers (1994) dalam Nugroho (2006), dimana institusi diartikan sebagai aturan main, norma-norma, larangan-larangan dalam mengatur dan mengendalikan perilaku dalam masyarakat atau organisasi
Tulisan ini lebih banyak difokuskan pada ikhtiar untuk pengendalian banjir yang ditujukan untuk mengurangi volume air yang melewati sungai melalui aktifitas yang mengintegrasikan pendekatan biofisik dan institusi.
Tiga perspektif.
Melalui pendekatan pengelolaan DAS (daerah aliran sungai), persoalan banjir setidaknya dapat diterangkan dengan tiga perspektif.
Pertama, banjir sebagai fenomena debit puncak (peak discharge). Banjir terjadi karena debit puncak tidak dapat ditampung oleh dimensi sungai / saluran. Jika DAS dipahami sebagai sebuah hamparan wilayah, dimana hujan yang jatuh di hamparan wilayah itu akan menuju ke sungai yang sama, maka debit puncak merupakan akumulasi dari debit run off (limpasan permukaan) yang berasal dari tiap persil lahan di DAS yang bersangkutan.
Keberadaan persil lahan, yang melekat hak kepemilikan (property right) di dalamnya, memperoleh penekanan di sini. Persil lahan dapat berupa persil hutan, persil perkebunan, tanaman pangan, permukiman, industri, lahan basah, semak, dan sebagainya. Kepemilikan dapat berupa pemilikan oleh negara (state property), individu atau badan hukum swasta (private property), dan pemilikan bersama (common property), serta persil-persil yang secara de facto dapat dikategorikan open access.
Dari perspektif ini, maka jika kita ingin mengendalikan banjir, maka setiap warga DAS, yaitu individu atau badan hukum yang menguasai persil lahan di DAS itu, harus ikut serta menurunkan debit limpasan yang keluar dari persil lahannya masing-masing.
Kedua, banjir sebagai akibat meningkatnya koefisien limpasan DAS, yaitu nisbah antara banyaknya air hujan yang menjadi limpasan permukaan dengan banyaknya air hujan yang jatuh di DAS yang bersangkutan. Setiap jenis penggunaan tanah memiliki koefisien limpasan yang berbeda. Koefisien limpasan suatu DAS merupakan rata-rata tertimbang dari koefisien limpasan masing-masing persil lahan. Jadi, jika kita ingin mengendalikan banjir (mengurangi koefisien limpasan DAS), maka setiap warga DAS harus berpartisipasi untuk menurunkan koefisien limpasan pada persil lahannya masing-masing.
Ketiga, banjir sebagai produk dari eksternalitas hidrologi yang negatif. Debit limpasan yang keluar dari setiap persil lahan, yang kemudian menyebabkan banjir, merupakan eksternalitas hidrologi yang negatif dari persil lahan itu. Setiap warga DAS berpotensi menjadi produsen eksternalitas hidrologi yang negatif, dimana biaya eksternalitasnya ditanggung oleh warga di hilir dalam bentuk banjir. Dari perspektif ini, maka banjir dapat dikendalikan jika setiap warga DAS melakukan upaya internalisasi.
Ketiga perspektif tersebut pada dasarnya menerangkan hal yang sama, bahwa untuk mengendalikan banjir di suatu wilayah DAS, maka setiap warga DAS, yaitu individu atau badan hukum yang menguasai persil lahan di wilayah DAS yang bersangkutan, harus melakukan ”sesuatu” yaitu mengadakan atau membangun sistem genangan dan atau sistem resapan di persil lahannya masing-masing.
Setidaknya terdapat dua rumpun teknologi untuk membangun sistem genangan atau sistem resapan di setiap persil. Pertama, rumpun teknologi konservasi tanah dan air. Dan kedua, rumpun teknologi pemanenan air hujan (rain water harvesting). Rumpun teknologi yang terakhir ini terutama dikembangkan di wilayah dengan curah hujan (CH) rendah (dibawah 1000 mm per tahun). Namun dengan berbagai kejadian kekeringan yang cenderung makin panjang akibat perubahan iklim global, teknologi pemanenan air hujan ini tampaknya harus mulai diperkenalkan di DAS yang memiliki CH tahunan yang relatif tinggi sekalipun.
so, buat warga jakarta seperti nya harus bersabar dulu menerima tamu LANGGANAN,semoga gubernur atau pemerintah yang terkait bisa menyelesaikan masalah banjir demi masa depan IBU KOTA JAKARTA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar